Di antara kewajiban wudhu adalah setiap anggota wudhu harus terkena basuhan. Dan jika ada bagian yang mesti dicuci, maka harus dicuci, tidak hanya cukup diusap. Jika ada bagian anggota wudhu yang tertutupi kotoran, seperti cat atau tipe-x sebagaimana yang dialami oleh sebagian kita, maka harus dihilangkan. Jika tidak dan membuat air tidak mengenai kulit atau kuku, maka membuat wudhunya tidak sah.
Tumit yang Tidak Terbasuh Wudhu
Ada hadits yang membicarakan ancaman bagi orang yang tidak berwudhu dengan sempurna. Dalilnya adalah,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ سَافَرْنَاهُ فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الصَّلاَةَ صَلاَةَ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا ، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ » . مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثً
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Kami pernah tertinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Kami lalu menyusul beliau dan ketinggalan shalat yaitu shalat ‘Ashar. Kami berwudhu sampai bagian kaki hanya diusap (tidak dicuci, -pen). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dengan suara keras dan berkata, “Celakalah tumit-tumit dari api neraka.” Beliau menyebut dua atau tiga kali. (HR. Bukhari no. 96 dan Muslim no. 241). Yang namanya diusap, berarti tangan cukup dibasahi lalu menyentuh bagian anggota wudhu, tanpa air mesti dialirkan.
Dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata,
رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ »
“Kami pernah kembali bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah menuju Madinah hingga sampai di air di tengah jalan, sebagian orang tergesa-gesa untuk shalat ‘Ashar, lalu mereka berwudhu dalam keadaan terburu-buru. Kami pun sampai pada mereka dan melihat air tidak menyentuh tumit mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Celakalah tumit-tumit dari api neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim no. 241).
Yang dimaksud a’qoob dalam hadits di atas adalah urat di atas tumit, disebut ‘aroqib. Kata ‘wail’ dalam hadits menunjukkan ancaman dan hukuman.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Hadits di atas adalah ancaman untuk tumit (perkara yang kecil), namun ancaman ini berlaku juga untuk hal yang lebih dari itu. Karena jika tidak dimaafkan yang sepele seperti tumit, maka yang lebih dari itu tentu tidak dimaafkan.” (At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, hal. 26).
Hadits ini juga menerangkan bahwa wajibnya menyempurnakan wudhu dan perintah membasuh anggota-anggota wudhu. Yang luput dari hal ini, ia terjerumus dalam dosa besar karena diancam dengan neraka seperti itu. Diterangkan oleh Syaikh As Sa’di di halaman yang sama.
Syaikh As Sa’di juga mengatakan, “Jika menganggap sepele dalam berwudhu tercela, begitu pula berlebihan dan mendapati was-was dalam wudhu juga sama tercela.” (At Ta’liqot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, hal. 26).
Jika Ada Bagian Wudhu Tertutupi Kotoran
Pakar fikih madzhab Syafi’i saat ini, Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho hafizhohullah berkata, “Wajib membasuh seluruh kulit dan rambut ketika membasuh. Seandainya di kuku ada kotoran yang menghalangi masuknya air atau terdapat cincin yang menutupi, maka wudhunya tidak sah.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 55).
Dalam hadits yang menerangkan orang yang wudhunya kurang sempurna disebutkan,
عَنْ جَابِرٍ أَخْبَرَنِى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
Dari Jabir, ‘Umar bin Al Khottob mengabarkan bahwa ada seseorang yang berwudhu lantas bagian kuku kakinya tidak terbasuh, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan berkata, “Ulangilah, perbaguslah wudhumu.” Lantas ia pun mengulangi dan kembali shalat. (HR. Muslim no. 243).
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Tidak sah wudhu jika ada sebagian kecil dari anggota wudhu yang tidak dicuci.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 55).
Hadits Bantahan untuk Syi’ah
Kebiasaan Syi’ah ketika berwudhu, mereka hanya mengusap kaki, tidak dicuci. Mengusap berarti tangan cukup dibasahi lalu mengusap anggota wudhu yang ada seperti saat mengusap kepala. Sedangkan mencuci berarti dengan mengalirkan air. Inilah salah satu penyimpangan kaum Rafidhah (baca: Syi’ah).
Guru penulis, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa wudhu tidaklah sah sampai bagian tumit cuci (tidak cukup diusap, -pen). Inilah pendapat jumhur ulama yang menyelisihi ahlu bid’ah.” (Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 17).
Syaikh Ali Bassam berkata, “Mencuci kaki ketika wudhu adalah wajib. Inilah yang dalil yang shahih bahkan diperkuat dengan konsensus para ulama (baca: ijma’). Hal ini berbeda dengan kebiasaan orang Syi’ah di mana mereka menyelisihi para ulama dalam hal ini. Mereka menyelisihi hadits-hadits shahih yang menjelaskan praktek wudhu dan pengajaran wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabat. Mereka pun menyelisihi qiyas yang shahih yang menyatakan bahwa mencuci kaki lebih utama daripada mengusap. Mencuci kaki itulah makna yang lebih tepat ketika memahami dalil.” (Taisirul ‘Allam, hal. 20).
Semoga Allah memberi taufik.
Referensi:
Al Fiqhu Al Manhaji, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.
At Ta’liqoot ‘ala ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq: ‘Abdurrahman bin Salim Al Ahdal, terbitan Darul Fawaid, cetakan kedua, tahun 1432 H.
Syarh ‘Umdatul Ahkam, -guru kami- Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Kanuz Al Isybiliya, cetakan pertama, 1429 H.
Tanbihul Afham wa Taisirul ‘Allam, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ali Bassam, cetakan Al Kitab Al ‘Alami, cetakan pertama, tahun 1427 H.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, Sabtu pagi, 6 Sya’ban 1434 H
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat